Tiga tahun yang lalu (Oktober 2010) saya berkesempatan untuk mengunjungi DMZ (Demilitary Zone) di korea selatan, daerah yang juga disulap menjadi kawasan wisata ini adalah daerah perbatasan antara korea utara dan korea selatan.
Daerah pegunungan yang cantik ini terletak sekitar 50 km dari seoul ke utara dan 200 km dari Pyongyang ke selatan dipisahkan oleh sungai yang dipagari dengan kawat besi yang tinggi. Di DMZ disamping panorama alamnya yang cantik, terlebih waktu kesana sedang musim gugur dimana daun-daun pohon berubah warna menjadi kuning keemasan, kita juga bisa melihat dan masuk kedalam terowongan-terowongan yang dulu digunakan oleh tentara-tentara korea utara menyusup masuk ke wilayah korea selatan, kabarnya ada ribuan terowongan yang dibangun walaupun sebahagian besar sudah ditutup.

Rasa curiga dan nuansa persaingan antar dua korea yang pernah menjadi bersatu ini memang sangat terasa diperbatasan, dikedua sisi perbatasan dibangun menara tinggi yang dipasangi bendera negara dipuncaknya.
Karena letaknya yang lebih dekat dari Seoul, maka wajarlah kalau aroma pembangunan di lebih terasa di wilayah korea selatan. Namun korea utara tidak tinggal diam, karenanya korea utara juga membangun gedung-gedung tinggi yang semata-mata hanya untuk “Show of Power”. Gedung-gedung yang kosong ini dibangun tinggi tanpa lantai, dengan cara ini tentu menghemat biaya pembangunan, karena memang didesain bukan untuk ditempati.

Harga dari nuansa persaingan dan rasa curiga diperbatasan korea ini tidak berhenti sampai disitu, karena di wilayah korea utara dibangun sebuah bendungan untuk pembangkit listrik tenaga air maka sebagai antisipasi korea selatan juga membangun bendungan di belakang bendungan korea utara tersebut. Bendungan ini tidak diisi dengan air, tujuannya cuma satu, menampung air yang bisa membanjiri seoul jika suatu saat korea utara menjebol bendungannya.

Tidak lengkap rasanya membahas perbatasan korea kalau tidak bercerita tentang Cow bridge, Jembatan sapi, jembatan ini dibangun oleh Chung Ju-yung untuk menebus rasa bersalahnya terhadap orang tuanya, disebut Cow Bridge karena jembatan ini dibangun untuk menyeberangkan ratusan sapi yang akan dikirim ke orang tuanya di korea utara sana.
Pada waktu korea belum terpisah antara utara dan selatan Chung Ju-yung muda menjual tanpa izin sapi orangtuanya yang kemudian dijadikan ongkos untuk merantau ke Busan mencari pekerjaan. Chung Ju-yung adalah pendiri perusahaan nomor tiga terbesar di korea, Hyundai Group. Perusahaan yang bermarkas di busan ini memiliki andil besar membangun Busan menjadi kota kedua terbesar di korea selatan setelah Seoul.

Walaupun menjadi wilayah perbatasan antar negara yang dijaga sangat ketat, cerita di perbatasan korea juga masih menyimpan harapan akan lahirnya perdamaian suatu saat nanti. Untuk memelihara rasa sebagai satu korea telah dibangun kawasan industri diwilayah perbatasan, Kawasan industri Kaesong namanya, terletak di area korea utara yang para pekerjanya pun orang korea utara tetapi perusahaannya dibangun dan dimiliki oleh korea selatan. Selain kawasan industri, juga sudah dibangun stasiun kereta api yang nantinya menjadi cikal bakal penghubung korea selatan dan utara dengan jalur kereta api, Saat ini stasiun ini belum berfungsi sebagaimana mestinya sebuah stasiun kereta api, belum ada kereta api yang beroperasi disini, gedung stasiun berfungsi sebagai tempat penjualan beraneka ragam souvenir. Dari stasiun inilah Not the last station from the south but the first toward the north bermula, mudah-mudahan ‘stasiun’ ini benar-benar menjadi stasiun.